“..saat kamu udah bisa memahami
waktu, kamu akan menemukan betapa berharganya setiap dentingan jarum merah yang
diberikan Tuhan buat kita..”
Suatu pagi dalam sapaan senyuman mentari,
seorang gadis menapakkan langkah
pertamanya di bangunan utama sekolahnya. Pukul 07.08 dia sampai di depan kelasnya,
seorang perempuan cantik telah menunggunya di kursi kayu panjang.
“ Nggak biasanya kamu berangkat
sesiang ini, biasanya kamu gasik
banget” kata Citra, sahabat Hime sejak SD.
“ Iya e, kesiangan nih tadi.”
jawab Hime sambil menahan tawa.
“ Heh! Kamu ngetawain apaa?”
sambil mencubit pipi Hime yang agak tembem itu.
“ Hissh, sakit tauk, aku tau
pipiku unyu, tapi gak usah dicubit-cubit juga donk, hahaha. Pink ? hayooo pasti
habis digombalin samaa…”
“ Stttt, diem aja, iyaa ntar aku critain tapi
kamu gak usah sefrontal ini, banyak orang nihh..” sambil menarik tangan Hime
dan masuk ke dalam kelasnya, pipinya memerah menahan malu.
●●●
Rossie Hime Valerie dan Citra Felicia, dua
orang remaja ini telah bersahabat sejak kelas 3 SD, mereka telah memahami satu
sama lain. Hime adalah seorang gadis dengan orang tua yang sangat kaya raya, namun
ia tak pernah menyombongkan semua itu, bahkan
menunjukkan bahwa ia adalah orang berada pun tidak. Dia sangat sederhana dan
selalu ceria.
Citra, adalah seorang gadis
dengan keluarga sederhana, dia baik dan pintar. Dia sudah tau mengenai seluk
beluk kehidupan Hime dan semua hal itu membuatnya semakin bangga mempunyai teman seperti Hime. Dia
bahkan sudah hafal, Hime akan menyebutkan satu warna tiap mereka bertemu,
Merah, Kuning, Jingga, Hijau, Nila, Ungu. 6 warna yang pernah di berikan untuk
Citra. Seperti pagi ini, Hime menyebutkan warna Jingga saat mereka pertama
bertemu.
Kenapa Hime menyebutkan
warna-warna itu? Ya , semua teman sekelasnya pun menanyakan hal itu, namun Hime
tak pernah menjawabnya. Ternyata dulu Hime sangat tertekan dengan keadaan keluarganya
yang tidak pernah memperhatikannya, ia memang sangat berkecukupan. Bukan
berkecukupan lagi mungkin, berlebihan lebih tepatnya. Apapun yang ia minta pada
hari itu pasti langsung diberikan. Namun orang tua nya jarang sekali pulang,
mereka bekerja berpindah-pindah mulai dari luar kota hingga ke luar negeri. Hal
itulah yang membuat Hime merasa kesepian bukan main.
Hingga suatu hari sekolahnya
mengadakan penelitian ke sebuah daerah kumuh di pinggiran kota, saat itulah dia
menyadari betapa beruntungnya dia yang memiliki segalanya, tak ada gunanya
menyesali hidup yang hanya diberikan satu kali ini, dan pada saat itu juga dia
memutuskan untuk mensyukuri hal sekecil apapun yang dianugerahkan Tuhan
kepadanya.
Dia telah mati-matian berusaha untuk
membiasakan dirinya bahagia dengan hal-hal kecil, seperti melihat tawa
teman-teman dan sahabatnya, melihat rinai hujan, merasakan atmosfer kelas yang
begitu menyenangkan dan lainya. Begitu mudahnya membuat Hime bahagia.
Hime mempunyai imajinasi yang
sangat tinggi, dia suka melukis, karyanya indah sekali. Sejak SMP tak jarang ia
mewakili sekolahnya jika ada perlombaan melukis. Dia juga sangat mencintai
pelangi, dia akan berusaha mati-matian untuk megosongkan waktunya hanya untuk
sekedar melihat dan menghabiskan waktu bersama pelangi. Karena tak setiap saat
ia bisa melhat pelangi, ia memutuskan untuk menciptakan 7 warna sendiri dalam
hidupnya, memang bukan hal yang wajar dan mudah, namun karena tingginya daya
imajinasi Hime, dia berhasil menciptakan 7 warna dalam hidupnya sendiri. Dia
akan melihat orang-orang dengan warnanya masing-masing, warna itu akan berganti
seiring dengan perasaan yang mereka alami saat itu.
●●●
Bel pulang sekolah telah
terdengar, para siswa dan guru berdiri untuk beberapa menit menunjukkan secuil
nasionalisme mereka masing-masing. Lagu Padamu Negeri dikumandangkan lewat speaker di masing-masing
ruang kelas. Setelah itu..
“ Citraaa.. kamu habis ini gak
ada kegiatan apa-apa kaan?” kata Hime dengan senyum yang penuh kode.
“ Adaa..aku mau tidur, ngantuk maksimal inii”
sambil menjulurkan lidahnya
“ Iih, ayolah nganterin akuu..”
“ Lagi? Pasti mau nyari Biru..
yakan?” dengan nada menggoda.
“ Iyaa,, ayolaaahh, nggakpapa. Ntar aku traktir
ice cream 5 deh!”
“ Apa apa? 5? Haha iyadeh oke” tampaknya Hime
sudah punya jurus andalan untuk membujuk sahabtanya yang satu ini, Ice cream, dan coklat. Citra tak akan bisa menolak
kedua hal itu.
Bulan ini sudah 4 kali Hime
mencoba menemukan orang dengan siluet biru itu di tempat-tempat ramai, tapi
nihil. Warna orang-orang yang ia temui hanya 6 warna lain itu. Indra dalam
tubuh Hime sudah reflek memunculkan warna-warna itu, seperti merah untuk
sesorang yang sedang marah, kesal, sebel
dll. Jingga untuk seseorang yang malu dan sebagainya, hanya indera dalam tubuh
Hime yang tau tentang semua itu. Bahkan saat Citra menanyakan bagaimana bisa
hal itu muncul, Hime pun tak bisa menjawabnya.
“ Terus kita hari ini mau
kemana? Mall udah, bioskop udah, toko-toko udah, mau kemana lagi coba?” Tanya
Citra yang masih menahan kantuknya.
“ Oiya hari ini kan ada konser
NOAH, kita kesana aja yuk, pasti rame terus perasaan orang-orang mesti beda-beda kann?
Aku penasaran setengah mati ni sama Biru, perasaan kayak gimana sih yang bisa
munculin siluet biru itu, apa jangan-jangan gak ada yaa? Aaa padahal warna
favoritku ee, sedih deh..”
“ Jangan gitu ah, cuma kamu aja kali yang nggak liat, udah yuk
kita cuss cari, emangnya kalo ketemu mau tok apain?”
“ Yaa yang penting ketemu dulu deh, ayok!”
sambil menarik tas Citra
Mereka berangkat dengan mobil Hime, sekitar 30
menit perjalanan mereka sampai di sebuah gedung yang ramai dengan spanduk NOAH.
Dengan cepat mereka turun, membeli tiket lalu masuk.
“ Hime, ada yang biru
enggak? Buruan cari gih..”
“ Enggak adaa ee” sambil
celingukan mencari-cari orang dengan siluet biru itu.
“ Yaudah, kita keliling dulu aja, kali-kali ada”
ucap Citra dengan harapan menenangkan Hime
Hampir 1 jam mereka mencari, namun hasilnya
tetap nihil. Citra dengan santainya ikut menikmati alunan lagu yang dimainkan
personil band itu dan membiarkan Hime menggerutu sendirian. Citra menahan tawa
melihat tingkah sahabatnya ini. Sebenarnya dia ingin bertanya ‘emang kalo nggak
ketemu si siluet biru, kamu bakalan mati, enggakkan?” tapi, Citra memilih untuk memendam
dalam-dalam pertanyaannya itu, takut menyakiti hati Hime.
“ Udah selesai nih, kita jajan
yuk.. katanya mau mbeliin Icecream?”
“ Iya deh, ayok”
“ Ih, kamu niii, Cuma gak ketemu
sama yang biru aja jadi sedih gini, alay banget tauk! Kayak besok gak bisa cari
lagi aja deh! Senyum gak, kalo nggak mau senyum tak cium lo!”
“ Ihh ogah, ntar ketularan rabies, hahaha” Hime menjulurkan
lidahnya dan lari secepat yang ia bisa ke mobilnya.
“ Haha anak inii..” kata Citra.
●●●
Dalam perjalanan pulang, Hime
baru menyadari bahwa HPnya ketinggalan di laci mejanya, namun ia tak
mengatakannya pada Citra. Setelah mengantarkan Citra pulang, barulah Hime
kembali ke sekolah untuk mengambil HPnya ditemani Pak Sopirnya yang paling
setia.
“ Tunggu di sini aja ya pak,
nggak lama kok.”
“ Iya non, santai aja, lama juga
saya tunggu..hehe”
Senyuman karena pak sopirnya
masih terpasang di wajahnya, saat itu pukul 17.00, lorong lantai 3 sudah gelap.
Namun Hime tak takut, lukisan yang dipajang di sepanjang lorong memancarkan
cahaya-cahaya mereka sendiri.
Bersama mentari ku bernyanyi mewarnai hari-hari
bersama pelangi ku menari menyambut bebasnya hati ini
Dia bernyanyi seakan gedung itu miliknya
sendiri, lalu dia merasakan hembusan angin berbeda. Seseorang duduk dibangku
panjang itu dan tak ada sinar yang dia pancarkan. Hime menghentikan nyanyianya
dan mengambil 1 langkah kebelakang.
“Hah, hitam? Kamu manusia bukan sih?” Tanya
Hime kepada orang itu dengan nada yang
begitu polosnya. Orang itu tetap menyandarkan kepalanya di tembok. Hanya
memberikan satu per second tatapan kepada Hime. Hime menyentikkan jarinya.
Sebelumnya, Hime tak pernah sekalipun melihat seseorang dengan siluet hitam.
Tak lucu, pikirnya.
“ Halooo,
aku ngomong sama kamu kak! Ih kacang. Yaudah bentar aku mau ambil hape dulu,
jangan pergi-pergi ya!” kata Hime. Tetap tak ada respon. Lalu Hime pergi
keruang kelasnya, 5 menit kemudian dia kembali.
“ Eh,
ayok ke tempat terang, aku pengen liat warnamu.”
Hime menyentuh tangan laki-laki itu. Dingin. Kepekaan hati Hime muncul, Hime
tau, orang ini dilanda suatu hal yang sangat besar. Kasihan sekali, dan pada
detik itu, Hime berambisi untuk memberikan warna-warna dalam hidup laki-laki
ini.
Ivan Fernan. Nama teman seangkatan Hime, yang
sebenarnya Hime juga baru lihat saat ini. Ya, inilah Hime seorang perempuan
yang tak begitu mempermasalahkan siapa saja yang menjadi teman seangkatannya.
Ckck.
Ivan yang tak mengerti tentang warna-warna
yang dibicarakan Hime, hanya mengikuti tarikan tangan Hime. Saat ini. Sentuhan
tangan Hime. Hangat. Penuh kasih. Hal yang tidak Ivan rasakan belakangan ini,
sama sekali.
Hime mencari tempat dimana partikel matahari bisa
mereka rasakan. Namun tanpa hasil, laki-laki ini tetap tak memiliki warna.
“ Kamu kenapa e? lagi sedih ya? Cerita boleh
kok, biar kamu punya warna gitu, nggak lucu e.” Hime masih tak percaya adanya
sesorang yang memiliki warna hitam.
“ Kamu siapa,aku nggak tau. Kamu ngapain, aku
juga nggak tau. Absurd banget sih!” kata Ivan dengan ketusnya dan langsung
pergi.
Kemudian
Hime malah berteriak dengan semangatnya, tanpa peduli kejudesan Ivan.
“ Aku Rossie Hime Valerie, panggil aja Hime.
Aku anak kelas X-11! Ati-ati dijalan ya kakak!” Entah apa yang dipikiran Hime,
dia tersenyum puas setelah berteriak tadi.
●●●
Embun masih enggan beranjak pergi, kicauan
burung sambut Hime pagi ini, aroma khas hujan masih terasa sekali. Keadaan yang
paling indah menurut Hime. Pagi ini dia semangat bukan main, dia akan mencari
Ivan dan melihat apa warnanya. Tak mungkin tiada yang terjadi disisa hari
kemarin, batin Hime.
Sesampainya Hime di sekolah, ia tak langsung
masuk kelas, ia menunggu Ivan di bangku panjang depan kelasnya.
“ Kamu
nunggu aku yaa?” Tanya Citra dengan PDnya.
“ Cuih!
Males” sambil menjulurkan lidah seraya tersenyum, lalu Hime menceritakan kepada
Citra yang terjadi kemarin sore. Citra pun ikut penasaran siapa orang yang
punya silut hitam itu.
5
menit menjelang bel masuk.
“ Parah nih, masak belum berangkat juga sih!”
“ Yakan, dia ketularan rabiesmu kali..” jawab
Citra dengan muka sok seriusnya. “ Aduh
sakit woy!” sambil mencubit balik pipi Hime, mereka tertawa bersama.
“ Nah, itu dia dateng” sambil menunjuk laki-laki
yang baru memasuki lorong. “Hihh, sebel, masak siluetnya tetep hitam sih, masak
iya gak ada kejadian apa-apa kemaren! Kamu tau nggak dia itu siapa?”
“ Oh, dia? Namanya Ivan Fernan. Anak X-2. Keren
badai orangnya. Tapi juteknya nggak ketulungan, dia itu anak mami banget, terus
baru-baru ini ayahnya meninggal, habis itu ibuknya masuk penjara soalnya
ketauan korupsi uang gede banget. Kasian sih, tapi sombong banget. Emang orang
berada dia itu..”
“ Lo eh, kok kamu tau banyak bangeet? Jangan jangaaan..”
“ Dia temen SMPku Hime sayaaang, nggak boleh
su’udzon ah, nggak baik.”
“ Ehm, mesti pacarmu yang ngajarin gitu, hahaha.”
“ Ssstttt… masuk yuk, ntar pulang sekolah kejar
dia lagi, haha.”
“ Siaap
bos!”
●●●
Hari ini para guru rapat, murid-murid
dipulangkan lebih awal. Hime yang sudah menyiapkan mental langsung lari menuju
ruangan Ivan, dia masuk kelasnya dan berteriak ‘ Ivaaan, ayok ikut akuu!!’ Ivan yang
menahan malu hanya menunduk dan mengikuti ajakan Hime. Hime meminta Ivan
menyetir mobilnya, meski awalnya Ivan menolak habis-habisan namun, akhirnya dengan terpaksa dan muka sewot ia menyaguhinya. Entah apa yang merasuki Ivan
hingga dia begitu menurut dengan ajakan-ajakan Hime, mungkin dia tau Hime punya
niat yang baik, dia hanya menunjukkan sifat sok ketusnya.
“ Woy! Ini kita mau kemanaaa? Dari tadi gak
sampe-sampe, udah 1,5 jam wooy! Tau gini males banget tadi mau ikut lo.”
“ Halah, tapi kan tetep mau..haha, sabar aja,
bentar lagi kita sampek kok. Mau makanan nggak? Aku bawa bekal banyak loo..”
“ Sini-sini, laper badai nih gue, nggak bilang
dari tadi.”
Ivan menepikan mobilnya, saat itu rinai hujan
mulai turun. Hime senang bukan main, artinya sebentar lagi ia bisa melihat bias
cahaya matahari dalam 7 warna indah. Hime menempelkan wajahnya di kaca mobil.
“ Wah, hujan…, tolong bukain kacanya dong..”
“ Halah lebay, Cuma hujan doank jugak.”
“ Kamu gak tau betapa indahnya hujan? Hujan
itu, bisa nenangin jiwa-jiwa yang lelah, bisa jadi pelipur lara, hujan juga
mbantu kita buat hidup. Habis hujan nanti ada pelangi. Kamu tau nggak apa
maksudnya hujan terus ada pelangi?” Tanya Hime dengan nada yang sangat halus.
“ Em..” sambil menolehkan wajahnya kearah
Hime.
“ Saat kita lelah, capek, muak sama kehidupan
di dunia, itu diibaratkan bumi sebelum hujan, kering, tandus. Kita harus
meluapkan emosi kita, nggak peduli gimana caranya. Kamu, kamu nggak dilarang
buat nangis, kamu emang cowok, tapi gak ada salahnyakan kamu nangis, nangis
emang nggak nyelesaiin masalah, tapi nangis itu melegakan.. habis nangis yang
diibaratin hujan, nanti ada pelangi, maksudnya saat kita habis sedih, down,
nanti pasti ada, pasti ada suatu hal yang bakal bikin kamu seneng, pasti ada.
Tapi kamu harus peka, jangan cuek sama hal disekitarmu. Tuhan nyiptain alam
ini, alam yang indaah banget ini bukan tanpa arti, semua ini Tuhan ciptain buat ngajari kita..”
Ivan terdiam, kata-kata Hime tampaknya mulai
menyadarkan Ivan, ia terlalu kaku dengan hidupnya selama ini, matanya mulai
berkaca-kaca.
“ Nah kan iya ada pelangi.. cantik banget
deh..”
“ Oh
, iya..”
masih dengan nada sok ketusnya
“ Udah nggak hujan nih, kamu juga udah kenyang
kan? Kita terusin lagi yok. Tinggal lurus aja beberapa km, ntar sampek.”
“ Iya bos jelek!”
sambil tertawa kecil dan menjulurkan lidahnya. Ini kali pertama Ivan menunjukkan
senyum diwajahnya.
Setelah sampai di tempat yag dimaksud Hime. Jalanan lurus berkelok terlihat karena
daerahnya yang tak rata, suara gemericik air terdengar sangat jelas dari sungai
di dekat mereka, pasukan hijau berbaris memanjang sangat rapi, hijau, indah
sekali. Terlihat pegunungan berjajar tak jauh dari seberang mereka memarkirkan
mobil, hembusan angin terasa sangat memanjakan tubuh, udara terasa beberapa
derajat lebih dingin.
Hime mengajak Ivan turun dari mobil, awalnya
Ivan menolak, tapi akhirnya ia mau. Ivan menyembunyikan kekagumannya akan
tempat yang baru pertama kali ia temui saat ini, ia tetap pura-pura tak peduli
dan acuh tak acuh. Mereka berjalan 500 meter hingga menemukan sebuah tanah
lapang dengan rumput hijau yang terlihat sangat rapi, di sebelahnya ada sebuah
bukit, lumayan tinggi. Memang bukit ini tak di desain untuk memanjat, tapi
setidaknya Hime pernah menaiki bukit ini walau dengan susah payah, pasti ada
alasan kenapa ia mau menaiki bukit ini lagi.
“ Tenagamu dihemat ya..”
“ Iya iya..”
Hime tau,
tak mungkin bisa menyenangkan Ivan hanya dengan sekedar membelikan
barang-barang atau mengajaknya ketempat mewah, hingga dia memutuskan tempat
ini, untuk membuat siluet Ivan tak hitam lagi.
“ Weh, warnanya ganti, udah gak item lagii”
katanya pada dirinya sendiri.
“ Apa sih? Dari kemaren kamu bilang siluat
siluet, nggak cetho banget tauk!”
“ Yee biarin, yok buruan naik!” ajak Hime
sambil menahan kegembiraan yang bukan main rasanya, melihat orang ini tak
bersiluet hitam lagi.
45 menit berlalu, akhirnya mereka berdua
sampai di puncak bukit ini, senja terlihat begitu indah, menghapuskan semua
kelelahan mereka berdua. Di puncak bukit ini, ada dataran sempit yang ditumbuhi
rumput-rumput, Hime merebahkan diri.
“ Ah, capek banget.. tapi disini keren kan…”
Ivan duduk disebelah Hime “ Iya deh, aku ngaku
ini keren,keren,kereeeeeen abiss, sumpah aku nggak bohong..”
“ Ahaha.. akhirnya kamu ngaku juga.. kamu mau
cerita nggak kenapa belakangan ini kamu sedih?”
“ Em? Harus ya? Bukannya tanpa aku cerita,
kamu pasti udah tau, kamu kan kerjaannya ngstalk aku, yakan, hayoo ngaku?
Haha..”
“ Haha, iya deh..iya, gini deh, kamu nggak
ngrasa po? Kamu udah ngebuang banyak banget waktumu yang berharga, Cuma buat
melarut-larutkan kesedihanmu itu? Aku tau kamu sedih, capek, marah dan semua
perasaan itu jadi satu, aku tau kamu udah hebat saat kamu udah ada disini, kamu
masih mau berangkat sekolah dan masih bisa senyum kayak gini, tapi yok coba..
kamu mulai ngehargai waktu lagi.. ayahmu nanti disana sedih liat kamu kayak gini
terus, ibukmu juga..”
Lalu Hime menolehkan mukanya kearah Ivan, ia
melihat pantulan cahaya senja mengenai butiran air kecil di dekat mata
laki-laki ini, dia duduk dengan menundukkan kepalanya. Hmm apa yang bisa aku
lakuin lagi kalo ginii, siluetnya item lagi, batin Hime.
“ Em, kamu tau nggak kenapa di bumi itu nggak
siang terus? Meski matahari itu hebatnya nggak ketulungan, meski ia bisa
menyinari bumi tiap hari tanpa jeda.. matahari itu ngajari kita buat nggak
egois, matahari tetap mbagi waktu sama bulan, matahari juga ngasih cahayanya
buat bulan, matahari itu baik banget.. walaupun matahari tau, suatu saat ia
akan mati kehabisan tenaga, tapi dia nggak nyerah kan? Buktinya ini tadi kita
masih bisa liat matahari. Alam ini ngajarin banyak banget hal buat kita, alam
juga ngasih kita keindahan yang gak ada batasnya, jadi kamu nggak boleh sedih
lama-lama ya, emang butuh waktu buat ngerti, Tuhan ngasih ini semua juga buat
kita kok, biar kita bisa makin hebat gitu.. hehe. Suatu hari kalo kamu sedih
ato marah, kamu bisa crita sama aku, kamu punya temen banyak dan aku yakin
mereka semua sayang sama kamu, terus kamu juga coba ya ngehargai waktu, saat
kamu udah bisa memahami waktu, kamu akan menemukan betapa berharganya setiap
dentingan jarum merah yang diberikan Tuhan buat kita.”
“ Hime.. makasih banget ya kamu mau jadi
temenku, walaupun aku udah jutek banget sama kamu, hehe” Ivan tersenyum dan
menjulurkan lidahnya, meski masih terlihat genangan air di matanya.
“ Haha.. santai aja, pulang yuk! Udah gelap
nih..”
“ Iya nih yok, kamu make jaketku aja, dingin
loh..”
“ Ih kamu sok perhatian bangeeett, haha wekkk”
meski awalnya menolak, Hime yang
merasakan perkataan Ivan benar-benar terjadi pun akhirnya mau, meski agak
gengsi untuk memakainya.
Setelah itu, mereka turun dan memulai
perjalanan pulang. “WHAT A DAY!” batin Hime saat memasuki mobil “ aku berhasil
nyenengin oraaang yeyeyeyee..” dalam hatinya ia senang bukan main, ia merasa
menjadi orang yang bermanfaat untuk hari ini.
●●●
Paginya, Ivan tiba-tiba memasuki kelas Hime
dan berteriak persis seperti yang Hime lakukan siang itu.
“ HIMEE KELUAR BENTAR DONK!” kali ini Hime
baru merasakan bagaimana malunya menjadi Ivan pada hari itu.
“ Ih, bikin malu aja deh elo tuh!, kenapa?”
“ Ini gelang lo ketinggalan di jaket gue kemaren, dah ya bye!” Ivan langsung meninggalkan Hime dan lari menuju
ruangannya.
“ Oh..my..
god…… CITRAA… ITU BIRUUU!!!”
Hime masih tak percaya dengan apa yang ia
lihat, siluet biru dalam diri Ivan, siluet biru yang sudah ia cari sejak lama,
siluet biru yang telah membuatnya menggerutu sebal di setiap perjalanan pulang
karena tak kunjung menemukannya, siluet biru yang ia dambakan selama ini..
siluet biru. Setelah berpikir lama, Hime
baru menyadari, siluet biru ini akan muncul jika Hime bisa membuat hidup
seseorang berarti dan membahagiakan hidup orang lain. Mulai saat itu, dia selalu mencoba membuat
orang lain bahagia, apapun caranya, bagaimanapun jalannya. Mungkin itu jalan dari Tuhan, pikirnya.
R. Am