Jumat, 26 April 2013

Pemuja Rahasia


                                                            Jika aku malam, dialah pelanginya.
‘ Apakah aku perlu tersublim menjadi udara, menyesak di peparumu.. sesekali,  aku ingin menjadi nafasmu..’ aku kembali mengulang kalimat ini dari buku yang hanya aku pinjam dari temanku. Ah, setiap lembar dari buku ini hanya mengingatkanku padamu..
Tentang harapan yang semakin terbang meninggi, tentang potongan rindu yang berserakan entah dimana dan tentang namanya yang semakin menggunung di otakku. Dia berlari dan aku berjalan terserok. Dia berteriak dan aku berbisik. Kita tak berada pada suatu jalan yang sama. Tapi tetap, semua ini tak mengubah perasaan yang aku simpan rapat-rapat ini. 
‘ Kalau kamu datang aku berjanji tidak akan bertanya, hati mana saja yang telah kau lewati untuk sampai disini,’ aku membuka lagi halaman selanjutnya dari buku Sadgenic karya Rahne Putri ini, tepat sebelum mataku reflek teralihkan ke dinding tempat dentingan waktu yang selalu mengingatkanku itu berada. Jarum merah bergerak 10 kali, cukup untuk membuatku sadar bahwa buku ini membuaiku terlalu lama.
Setengah sepuluh, ulangan PKN, ulangan ekonomi, tugas sejarah.. aku mencoba menenangkan pikirku dan berniat membuat kopi sebagai teman malamku kali ini. Setelah kembali ke kamar, aku menyeruput sedikit kopi buatanku itu dan menyiapkan buku PKN.
Ah kayaknya lebih enak sambil tiduran nih..
                                ---
Aku terbangun dengan buku PKN diwajahku dan tentu saja dengan backsound suara teriakan ibuku. ‘ Iyaaa Maaah,’ jawabku dengan berteriak juga. Setengah tujuh, mati aku.
Aku bergegas menyiapkan buku untuk hari ini lalu berlari ke kamar mandi. Tanpa sarapan dan uang saku aku langsung mengambil sepedaku dan menuju sekolahku yang hanya berjarak 3 km dari rumahku. Sial, tetep aja telat.
Jarak parkir sepeda dengan kelasku lumayan jauh, aku mencoba berlari. Namun sesaat, waktu terasa berjalan lebih lambat, jauh lebih lambat. Aku menengokkan wajahku ke kanan dan kakiku reflek melambatkanku. Aku behenti berlari. Aku melihatnya berlari, dengan muka panik yang begitu lucu.“ Ayo deek nanti makin telaat.” Aku terpaku di detik ini. Ini pertamakalinya dia menyapaku. Zero gravity.
I lose my mind for a couple of second. Pikiranku tak disini, ia sedang berjalan-jalan mengikuti seseorang yang menyapaku tadi, menjaganya sejenak dan memastikannya memasuki kelasnya. Gravitasi, jaga hatiku. Jangan biarkan ia terbang terlalu tinggi.
                                                --
Aku memasuki kelas tanpa ekspresi yang seharusnya. Hati dan pikiranku masih belum senormal biasanya. Ruwetnya pikiranku tentang keterlambatanku dan segala keribetan pelajaran hari ini dihapus begitu saja oleh orang itu.
Aku tau, hatinya masih termiliki oleh seseorang dimasa lalunya. Meski ia yang tersakiti, tetap saja ia masih mengembangkan harapannya terlalu tinggi. Harapan untuk mantannya menyadari kesalahannya sendiri dan kembali padanya. Jangan tanya dari mana aku tau itu, seorang stalker sejati tak akan pernah mengatakannya!
Dia tak sempurna, begitu pula aku. Tapi untuk apa sebuah kesempurnaan? Bila sebuah ketulusan jauh lebih penting. Terkadang aku pun tak mengerti, mengapa aku bisa mengaguminya begitu lama, meski dia tak memberikan suatu respon apapun. Oke, kecuali keberuntunganku hari iniJ. Tapi, layaknya secret admirer lain di dunia ini, sesaat angin yang berhembus melalui pikiranku menyetujui bahwa terkadang aku ingin sekali memilikinya.
Namun saat ini aku hanyalah aksara tanpa cahaya untuknya. Kau tau? Bila jutaan kata terpampang di depanmu dan tiada setitik cahaya pun yang datang? Apakah kau bisa melihatnya? Tidak, tentu saja. Ya seperti itu. Dan Jika aku malam, dialah pelanginya. Ya, dengan semua keindahannya dan segala ketidakmungkinan diantara kita. Bukan kita. Diantara aku dan dia. Sekarang maknanya masih berbeda.
---
Pagi lain telah menyapa, dan hari kemarin terlewati begitu saja. Hari ini aku tak akan berharap untuk bertemu dengannya, tak akan mempercepat langkahku untuk bersamanya, tak akan melambatkan waktuku hanya untuk menyamakan detikku dan detiknya.  Aku beum siap kecewa karena aku tau, dia masih brsama orang lain. Aku mencoba menurunkan  harapanku tentangnya perlahan.
Dalam perjalanan pulang aku melihatnya lagi. Gravitasi menjatuhkan hatiku perlahan. Memang tidak sakit. Ini hanya hampa, hampir menuju kecewa. Dia bersama temannya, saling tertawa dalam canda. Rasanya semakin tidak mungkin. Namun, angin yang berhembus melewati otakku tak merubah arahnya. Meski sedikit mustahil, mungkin aku akan tetap menunggu pelangi di malam hari. Labil, ya memang. Bagaimana lagi. Ini perasaan yang sungguh tak bisa dijelaskan. Rasanya? Bukan seperti kertas dijatuhkan dari langit. Bukan, like I made of glasses.
Ya, inilah sulitnya menjadi seorang secret admirer. Harus tetap menjadi rahasia, bahkan ketika perasaan dihancurkan begitu saja. Lalu bagaimana dengan akhir cerita ini? Ah biarlah, untuk waktu dekat ini aku akan membiarkannya dan menunggu waktu menghapus perasaan ini perlahan. Atau mungkin.. suatu saat kau yang akan datang dan menghapus rinduku selama ini.



R. Am

Tidak ada komentar:

Posting Komentar