Jika aku malam, dialah
pelanginya.
‘ Apakah aku perlu tersublim menjadi udara,
menyesak di peparumu.. sesekali, aku
ingin menjadi nafasmu..’ aku kembali mengulang kalimat ini dari buku yang hanya
aku pinjam dari temanku. Ah, setiap
lembar dari buku ini hanya mengingatkanku padamu..
Tentang harapan yang semakin terbang meninggi,
tentang potongan rindu yang berserakan entah dimana dan tentang namanya yang
semakin menggunung di otakku. Dia berlari dan aku berjalan terserok. Dia
berteriak dan aku berbisik. Kita tak berada pada suatu jalan yang sama. Tapi
tetap, semua ini tak mengubah perasaan yang aku simpan rapat-rapat ini.
‘ Kalau kamu datang aku berjanji tidak akan
bertanya, hati mana saja yang telah kau lewati untuk sampai disini,’ aku membuka
lagi halaman selanjutnya dari buku Sadgenic karya Rahne Putri ini, tepat
sebelum mataku reflek teralihkan ke dinding tempat dentingan waktu yang selalu
mengingatkanku itu berada. Jarum merah bergerak 10 kali, cukup untuk membuatku
sadar bahwa buku ini membuaiku terlalu lama.
Setengah
sepuluh, ulangan PKN, ulangan ekonomi, tugas sejarah.. aku mencoba menenangkan pikirku dan berniat
membuat kopi sebagai teman malamku kali ini. Setelah kembali ke kamar, aku
menyeruput sedikit kopi buatanku itu dan menyiapkan buku PKN.
Ah
kayaknya lebih enak sambil tiduran nih..
---
Aku terbangun dengan buku PKN diwajahku dan
tentu saja dengan backsound suara
teriakan ibuku. ‘ Iyaaa Maaah,’ jawabku dengan berteriak juga. Setengah tujuh, mati aku.
Aku bergegas menyiapkan buku untuk hari ini
lalu berlari ke kamar mandi. Tanpa sarapan dan uang saku aku langsung mengambil
sepedaku dan menuju sekolahku yang hanya berjarak 3 km dari rumahku. Sial, tetep aja telat.
Jarak parkir sepeda dengan kelasku lumayan
jauh, aku mencoba berlari. Namun sesaat, waktu terasa berjalan lebih lambat,
jauh lebih lambat. Aku menengokkan wajahku ke kanan dan kakiku reflek
melambatkanku. Aku behenti berlari. Aku melihatnya berlari, dengan muka panik
yang begitu lucu.“ Ayo deek nanti makin telaat.” Aku terpaku di detik ini. Ini
pertamakalinya dia menyapaku. Zero
gravity.
I lose my mind for a couple of second. Pikiranku
tak disini, ia sedang berjalan-jalan mengikuti seseorang yang menyapaku tadi,
menjaganya sejenak dan memastikannya memasuki kelasnya. Gravitasi, jaga hatiku.
Jangan biarkan ia terbang terlalu tinggi.
--
Aku memasuki kelas tanpa ekspresi yang
seharusnya. Hati dan pikiranku masih belum senormal biasanya. Ruwetnya pikiranku tentang
keterlambatanku dan segala keribetan pelajaran hari ini dihapus begitu saja
oleh orang itu.
Aku tau, hatinya masih termiliki oleh seseorang
dimasa lalunya. Meski ia yang tersakiti, tetap saja ia masih mengembangkan
harapannya terlalu tinggi. Harapan untuk mantannya menyadari kesalahannya
sendiri dan kembali padanya. Jangan tanya dari mana aku tau itu, seorang stalker sejati tak akan pernah
mengatakannya!
Dia tak sempurna, begitu pula aku. Tapi untuk
apa sebuah kesempurnaan? Bila sebuah ketulusan jauh lebih penting. Terkadang
aku pun tak mengerti, mengapa aku bisa mengaguminya begitu lama, meski dia tak
memberikan suatu respon apapun. Oke, kecuali keberuntunganku hari iniJ. Tapi, layaknya secret admirer lain di dunia ini, sesaat angin yang berhembus
melalui pikiranku menyetujui bahwa terkadang aku ingin sekali memilikinya.
Namun saat ini aku hanyalah aksara tanpa cahaya
untuknya. Kau tau? Bila jutaan kata terpampang di depanmu dan tiada setitik
cahaya pun yang datang? Apakah kau bisa melihatnya? Tidak, tentu saja. Ya
seperti itu. Dan Jika aku malam, dialah pelanginya. Ya, dengan semua
keindahannya dan segala ketidakmungkinan diantara kita. Bukan kita. Diantara
aku dan dia. Sekarang maknanya masih berbeda.
---
Pagi lain telah menyapa, dan hari kemarin
terlewati begitu saja. Hari ini aku tak akan berharap untuk bertemu dengannya,
tak akan mempercepat langkahku untuk bersamanya, tak akan melambatkan waktuku
hanya untuk menyamakan detikku dan detiknya.
Aku beum siap kecewa karena aku tau, dia masih brsama orang lain. Aku mencoba
menurunkan harapanku tentangnya
perlahan.
Dalam perjalanan pulang aku melihatnya lagi.
Gravitasi menjatuhkan hatiku perlahan. Memang tidak sakit. Ini hanya hampa,
hampir menuju kecewa. Dia bersama temannya, saling tertawa dalam canda. Rasanya
semakin tidak mungkin. Namun, angin yang berhembus melewati otakku tak merubah
arahnya. Meski sedikit mustahil, mungkin aku akan tetap menunggu pelangi di
malam hari. Labil, ya memang. Bagaimana lagi. Ini perasaan yang sungguh tak
bisa dijelaskan. Rasanya? Bukan seperti kertas dijatuhkan dari langit. Bukan, like I made of glasses.
Ya, inilah sulitnya menjadi seorang secret
admirer. Harus tetap menjadi rahasia, bahkan ketika perasaan dihancurkan
begitu saja. Lalu bagaimana dengan akhir cerita ini? Ah biarlah, untuk waktu
dekat ini aku akan membiarkannya dan menunggu waktu menghapus perasaan ini
perlahan. Atau mungkin.. suatu saat kau yang akan datang dan menghapus rinduku
selama ini.
R. Am
Tidak ada komentar:
Posting Komentar